a cup of mathca
Triing~
Suara bel pintu kafe berbunyi, menandakan ada seorang pelanggan yang masuk. Dari kejauhan, barista melihat seorang wanita dengan kemeja coklat sebagai outer yang dipadupadankan dengan celana high waist berwarna senada. Dengan wajah datar, berambut hitam pekat yang dikuncir kuda dengan kacamata bulat, berjalan lurus menghampiri meja tempat pemesanan.
Belum sempat wanita itu buka suara, Sang barista menyelak masuk, "Matcha latte?" tanyanya langsung.
Wanita tersebut menyunggingkan senyuman yang hampir tak terlihat, "Tanpa tambahan gula," katanya menambahkan pesanannya.
Ia langsung mengeluarkan uang, lalu berjalan menuju meja "kesayangannya". Di pojok dekat jendela, yang padahal tidak menampilkan pemandangan apapun, kecuali tembok yang ditutupi tumbuhan menjalar.
Kemudian, ia mengeluarkan headphone berwarna putih tulang, dan langsung memasangkan ke telinganya. Mencari daftar tontonan series yang belum selesai ditonton dan menontonnya.
Tak sampai lima menit, pesanannya datang. Secangkir Matcha Latte. Matanya berbinar melihat cantiknya perpaduan warna hijau dan putih yang disandingkan dengan es batu dengan embunnya.
Tanpa pikir panjang, jarinya yang mungil itu menggenggam gelas tersebut, dan menariknya hingga bisa dinikmati. Hisapan matcha dari sedotan itu, menampakan kenikmatan yang luar biasa dari minuman berwarna hijau tersebut.
Setelah merasa cukup menyesap minumannya, wanita itu kembali ke aktivitas sebelumnya. Menonton series dengan serius.
Esoknya, di jam yang hampir sama. Bel kafe itu kembali berbunyi. Namun, bukan wanita yang biasanya datang. Melainkan seorang laki-laki.
Datang dengan ekspresi kebingungan, menandakan baru pertama kali datang ke kafe tersebut. Sempat terdiam beberapa detik memperhatikan sekitar. Hingga menemukan sebuah meja, dengan barista yang siap melayaninya.
Laki-laki itu langsung menghampirinya dan siap untuk memesan.
"Selamat datang di kafe kami. Mau pesan apa?" tanya barista ramah.
"Emm," matanya tak melihat ke arah barista yang sedang melayaninya, melainkan sibuk melihat ke papan besar yang berada di belakang barista bagian atas. "Matcha deh" katanya setelah menemukan menu yang dicarinya.
"Panas atau dingin?" tanya barista.
"Dingin, tanpa tambahan gula," jawabnya.
Ia langsung mengeluarkan uang, dan mencari meja kosong.
Tring~
Bel kafe berbunyi lagi. Dan kali ini, wanita itu yang datang.
Dengan mode automatic, kakinya berjalan menuju meja untuk memesan. Dengan secepat kilat, ia sudah memesan. Secangkir matcha tanpa tambahan gula.
Baru saja badannya berbalik, ingin duduk ke tempat singgasananya. Kakinya terhenti tepat selangkah berjalan. Tempatnya sudah disinggahi orang lain.
Tanpa ia sadari, ia menarik nafas dalam, seolah kecewa. Namun, ia tak mau ambil pusing, mencari meja lain yang masih kosong.
Ia berjalan ke arah dekat pintu, meja yang berada di dekat jendela. Namun kali ini, menampakkan pemandangan jalan raya.
Baru saja duduk, ia tak sengaja melihat barista yang membawa secangkir Matcha. Matanya berbinar melihat dari kejauhan.
Namun tak berlangsung lama, karena setelah barista itu beberapa kali melangkah, badannya belok, bukan ke arah mejanya.
Ternyata, Matcha itu untuk laki-laki yang duduk di singgasananya tadi. Tanpa sadar, mulutnya ber-oh ria.
Matanya kini melihat ke arah luar jendela. Menampilkan jalan raya yang tidak ramai seperti biasanya. Namun matahari dengan tega mengeluarkan semua cahayanya hingga begitu terik.
Tak sadar akan lamunannya, barista terus memanggil nya, “Mba ... mbaa ... mbaaa ...,” kata barista tersebut.
“Eh iya,” Ia tersontak, langsung menegakkan badan. “Ini matcha nya,” barista tersebut menaruh Matcha di meja.
“Engga di tempat yang biasa ya mba?” Tanya barista basa-basi. Yang ditanya, hanya menyunggingkan senyum.
“Dia dateng pas banget sebelum mbak dateng. Kalah cepet mbaknya.” Ocehnya lagi padahal tidak ada yang bertanya.
“Dia juga pesan matcha lho mba,” barista tersebut memberikan seluruh informasi seolah memang ditanyakan.
“Jangan-jangan jodoh mba.”
“Hah?”
Entah sudah berapa lama, lelaki yang masih tak diketahui namanya itu, kini menjadi salah satu pelanggan tetap di kafe tersebut.
Dan hari ini, akhirnya wanita itu datang lebih dahulu, kembali menempati singgasananya.
Meskipun hanya sebatas tempat, menurutnya, hal ini lebih dari sekedar tempat duduk. Kursinya seolah ada daya magnet yang kuat untuk diduduki.
Pesanan yang selalu sama tiap harinya pun datang. Ice matcha latte, minuman yang tidak semua orang bisa nikmati.
Baru saja mencari posisi nyaman, ada sebuah suara asing yang memanggilnya. “Mba,” suara berat keluar dari seorang laki-laki yang selama ini mengambil alih tempatnya.
Sedangkan yang dipanggil, hanya mengangkat kepalanya, sambil menunggu kalimat lain darinya keluar, tanpa perlu membalas panggilan.
“Saya boleh duduk di sini?”
“Hah?” Responnya langsung, terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan.
Pria itu mengulangi pertanyaannya, “Boleh duduk di sini?” Sambil menunjuk bangku yang kosong tersebut.
“Ah-oh-iya. Boleh.”
Pria tersebut langsung duduk, tanpa memperdulikan Sang wanita yang kebingungan. Bingung dengan situasi yang terjadi, dan bingung dengan sikapnya yang tak tahu harus bagaimana.
Namun, seolah bukan masalah yang besar, wanita tersebut kembali ke aktivitasnya. Menonton serial drama yang belum selesai-selesai.
Baru saja berjalan 15 menit, pria tersebut memanggilnya lagi, “Mba.”
Dan sekali lagi, yang merasa terpanggil hanya mengalihkan pandangannya dari layar ke seseorang tak dikenal yang berada di hadapannya.
“Sorry ganggu, boleh tau namanya?” Tanyanya yang membuat perempuan dengan panggilan mbak itu, lagi-lagi terkejut.
Tak ada respon, hanya diam seribu bahasa sambil menatap laki-laki di depannya yang tak ia ketahui juga namanya.
Suara bel pintu kafe berbunyi, menandakan ada seorang pelanggan yang masuk. Dari kejauhan, barista melihat seorang wanita dengan kemeja coklat sebagai outer yang dipadupadankan dengan celana high waist berwarna senada. Dengan wajah datar, berambut hitam pekat yang dikuncir kuda dengan kacamata bulat, berjalan lurus menghampiri meja tempat pemesanan.
Belum sempat wanita itu buka suara, Sang barista menyelak masuk, "Matcha latte?" tanyanya langsung.
Wanita tersebut menyunggingkan senyuman yang hampir tak terlihat, "Tanpa tambahan gula," katanya menambahkan pesanannya.
Ia langsung mengeluarkan uang, lalu berjalan menuju meja "kesayangannya". Di pojok dekat jendela, yang padahal tidak menampilkan pemandangan apapun, kecuali tembok yang ditutupi tumbuhan menjalar.
Kemudian, ia mengeluarkan headphone berwarna putih tulang, dan langsung memasangkan ke telinganya. Mencari daftar tontonan series yang belum selesai ditonton dan menontonnya.
Tak sampai lima menit, pesanannya datang. Secangkir Matcha Latte. Matanya berbinar melihat cantiknya perpaduan warna hijau dan putih yang disandingkan dengan es batu dengan embunnya.
Tanpa pikir panjang, jarinya yang mungil itu menggenggam gelas tersebut, dan menariknya hingga bisa dinikmati. Hisapan matcha dari sedotan itu, menampakan kenikmatan yang luar biasa dari minuman berwarna hijau tersebut.
Setelah merasa cukup menyesap minumannya, wanita itu kembali ke aktivitas sebelumnya. Menonton series dengan serius.
🍵🍵🍵
Esoknya, di jam yang hampir sama. Bel kafe itu kembali berbunyi. Namun, bukan wanita yang biasanya datang. Melainkan seorang laki-laki.
Datang dengan ekspresi kebingungan, menandakan baru pertama kali datang ke kafe tersebut. Sempat terdiam beberapa detik memperhatikan sekitar. Hingga menemukan sebuah meja, dengan barista yang siap melayaninya.
Laki-laki itu langsung menghampirinya dan siap untuk memesan.
"Selamat datang di kafe kami. Mau pesan apa?" tanya barista ramah.
"Emm," matanya tak melihat ke arah barista yang sedang melayaninya, melainkan sibuk melihat ke papan besar yang berada di belakang barista bagian atas. "Matcha deh" katanya setelah menemukan menu yang dicarinya.
"Panas atau dingin?" tanya barista.
"Dingin, tanpa tambahan gula," jawabnya.
Ia langsung mengeluarkan uang, dan mencari meja kosong.
Tring~
Bel kafe berbunyi lagi. Dan kali ini, wanita itu yang datang.
Dengan mode automatic, kakinya berjalan menuju meja untuk memesan. Dengan secepat kilat, ia sudah memesan. Secangkir matcha tanpa tambahan gula.
Baru saja badannya berbalik, ingin duduk ke tempat singgasananya. Kakinya terhenti tepat selangkah berjalan. Tempatnya sudah disinggahi orang lain.
Tanpa ia sadari, ia menarik nafas dalam, seolah kecewa. Namun, ia tak mau ambil pusing, mencari meja lain yang masih kosong.
Ia berjalan ke arah dekat pintu, meja yang berada di dekat jendela. Namun kali ini, menampakkan pemandangan jalan raya.
Baru saja duduk, ia tak sengaja melihat barista yang membawa secangkir Matcha. Matanya berbinar melihat dari kejauhan.
Namun tak berlangsung lama, karena setelah barista itu beberapa kali melangkah, badannya belok, bukan ke arah mejanya.
Ternyata, Matcha itu untuk laki-laki yang duduk di singgasananya tadi. Tanpa sadar, mulutnya ber-oh ria.
Matanya kini melihat ke arah luar jendela. Menampilkan jalan raya yang tidak ramai seperti biasanya. Namun matahari dengan tega mengeluarkan semua cahayanya hingga begitu terik.
Tak sadar akan lamunannya, barista terus memanggil nya, “Mba ... mbaa ... mbaaa ...,” kata barista tersebut.
“Eh iya,” Ia tersontak, langsung menegakkan badan. “Ini matcha nya,” barista tersebut menaruh Matcha di meja.
“Engga di tempat yang biasa ya mba?” Tanya barista basa-basi. Yang ditanya, hanya menyunggingkan senyum.
“Dia dateng pas banget sebelum mbak dateng. Kalah cepet mbaknya.” Ocehnya lagi padahal tidak ada yang bertanya.
“Dia juga pesan matcha lho mba,” barista tersebut memberikan seluruh informasi seolah memang ditanyakan.
“Jangan-jangan jodoh mba.”
“Hah?”
🍵🍵🍵
Entah sudah berapa lama, lelaki yang masih tak diketahui namanya itu, kini menjadi salah satu pelanggan tetap di kafe tersebut.
Dan hari ini, akhirnya wanita itu datang lebih dahulu, kembali menempati singgasananya.
Meskipun hanya sebatas tempat, menurutnya, hal ini lebih dari sekedar tempat duduk. Kursinya seolah ada daya magnet yang kuat untuk diduduki.
Pesanan yang selalu sama tiap harinya pun datang. Ice matcha latte, minuman yang tidak semua orang bisa nikmati.
Baru saja mencari posisi nyaman, ada sebuah suara asing yang memanggilnya. “Mba,” suara berat keluar dari seorang laki-laki yang selama ini mengambil alih tempatnya.
Sedangkan yang dipanggil, hanya mengangkat kepalanya, sambil menunggu kalimat lain darinya keluar, tanpa perlu membalas panggilan.
“Saya boleh duduk di sini?”
“Hah?” Responnya langsung, terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan.
Pria itu mengulangi pertanyaannya, “Boleh duduk di sini?” Sambil menunjuk bangku yang kosong tersebut.
“Ah-oh-iya. Boleh.”
Pria tersebut langsung duduk, tanpa memperdulikan Sang wanita yang kebingungan. Bingung dengan situasi yang terjadi, dan bingung dengan sikapnya yang tak tahu harus bagaimana.
Namun, seolah bukan masalah yang besar, wanita tersebut kembali ke aktivitasnya. Menonton serial drama yang belum selesai-selesai.
Baru saja berjalan 15 menit, pria tersebut memanggilnya lagi, “Mba.”
Dan sekali lagi, yang merasa terpanggil hanya mengalihkan pandangannya dari layar ke seseorang tak dikenal yang berada di hadapannya.
“Sorry ganggu, boleh tau namanya?” Tanyanya yang membuat perempuan dengan panggilan mbak itu, lagi-lagi terkejut.
Tak ada respon, hanya diam seribu bahasa sambil menatap laki-laki di depannya yang tak ia ketahui juga namanya.
Karena terlalu lama menatap, hingga mata itu menelisik wajah laki-laki yang mulai terasa canggung. Matanya tidak sipit, tapi tidak juga besar. Rahangnya terlihat tapi tidak tegas. Dan yang paling lucu adalah, ekspresi lelaki itu yang canggung sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, hingga tanpa sadar, ia tersenyum sepenuhnya.
“Kanala,” satu kata keluar dari mulut wanita yang selama ini selalu ber-hah ria.
Sedangkan, Sang penanya sedang terkejut karena pertanyaannya dijawab oleh Kanala.
Seolah tak mau membuang kesempatan, lelaki itu menjulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan, “Atala,” katanya. Dan Kanala pun membalas jabatan itu.
“Kanala,” satu kata keluar dari mulut wanita yang selama ini selalu ber-hah ria.
Sedangkan, Sang penanya sedang terkejut karena pertanyaannya dijawab oleh Kanala.
Seolah tak mau membuang kesempatan, lelaki itu menjulurkan tangannya, mengajak berjabat tangan, “Atala,” katanya. Dan Kanala pun membalas jabatan itu.
"Senang bisa berkenalan dengan ...," Atala tak tau harus memanggilnya apa. "Nala," sambung Kanala.
TAMAT.

Komentar
Posting Komentar