FLAWS
![]() |
Ini kisah seseorang yang selalu merasa bersalah atas kejadian yang menimpanya.
Seorang wanita yang trauma akan masa lalu dan membawanya pada kenangan pilu yang tak pernah hilang dari dalam dirinya.
"Sampai kapan kamu mau begini?" Tanya nya pada wanita yang diam membisu meringkuk memeluk tubuh nya.
"Ayolah Rain, semua bukan salah kamu. Ini semua sudah di atur sama Tuhan." Tambahnya lagi yang masih di diamkan.
"Kalau kamu seperti ini terus, aku juga bakal sedih. Masa aku harus kehilangan orang yang aku sayang untuk keduakalinya." Setelah kalimat itu dilontarkan, Raina mulai terisak mengeluarkan air matanya yang entah kapan habis.
"Aku takut Dim. Aku takut. Aku takut." Kalimat yang keluar dari mulutnya Raina hanyalah 'aku takut'.
"Ada aku Rain, aku enggak bakal ninggalin kamu, aku bakal selalu disini." Dimas berusaha untuk meredakan tangisan Raina.
"Siapa yang tahu kalau kamu akan selalu bersama aku? Kamu Tuhan? Kamu bisa merencanakan hidup ini? Engga ada yang tahu Dim apa yang akan terjadi esok. Bahkan untuk detik selanjutnya engga ada yang Tahu." Rain akhirnya mulai mengeluarkan emosinya yang selama ini terpendam.
"Iya aku tahu Rain, engga akan ada yang tahu bagaimana nantinya. Tapi untuk sekarang, aku akan selalu berusaha untuk tidak meninggalkan kamu sendirian. Aku akan tinggalin kamu ketika kamu sudah mendapatkan yang lebih dari aku."
Dibalik kalimat yang ia lontarkan, Dimas menahan bulir-bulir air matanya untuk jatuh.
Raina pun seketika menoleh ke arah Dimas yang masih setia menatap wajahnya. Saling bertatap tanpa sepatah kalimat yang terlontar.
Menelisik tiap wajah dari dua insan untuk melihat masihkah ada secarik harapan di antara keabuan perasaan ini?
Dengan tiba-tiba Raina memeluk Dimas yang masih setia di posisi yang sama. Memeluk erat dalam dekapan Dimas "Cukup, aku ga mau kehilangan orang lagi lagi dan lagi. Aku, kamu akan menjadi kita selamanya."
Dimas membalas pelukan Raina dengan air matanya yang ikut jatuh. Namun Dimas meyakini sesuatu, bahwa Hujannya tidak akan pernah pergi.
Raina kembali kuliah setelah seminggu ia mengambil cuti atas kepergian sahabatnya. Jika ditanya bagaimana perasaannya? Bisa dipastikan masih tidak baik-baik saja. Tapi Raina berusaha untuk tetap menjalani hidupnya untuk sahabatnya.
"Masih bisa masuk kuliah lu Na?" Salah satu mahasiswi menanyainya dengan sarkas.
"Penjahat tuh gitu, ga ada rasa bersalahnya." Timpal seorang perempuan yang satu kubu tersebut.
"Paling nanti juga Dimas yang bakal dibuat mati!"
Cukup! Raina tidak sanggup untuk mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Bahkan Raina tak sanggup untuk membalasnya.
Raina memilih pergi dari kelas itu dan menjauh dari mereka yang membuat hati Raina lagi dan lagi terluka.
Kenapa semesta tak adil untuk hidupnya? Kenapa orang yang ia sayangi pergi satu per satu? Dan kenapa orang yang tidak tahu apa-apa menghakiminya tanpa sebab?
Ia memang suka sekali akan hujan tapi mengapa seperti ini? Bukan hujan yang turun dari langit melainkan air matanya yang selalu turun membahasi pipinya. Dan diakhiri dengan hatinya yang terluka.
Pagi ini Dimas kembali bekerja. Menyambut hari dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Dimas menyapa teman sekantornya yang datang lebih awal.
Dimas mulai membuka laptopnya. Mengerjakan tugas kantornya yang sempat tertunda beberapa hari.
Dan menurutnya karena masih pagi, bisa dipastikan semangatnya masih 100% terkumpul.
Mengerjakan dengan serius dan penuh ketekunan. Hingga tak sadar Dimas telah dua jam berada di depan laptopnya.
Dimas merenggangkan badannya yang mulai kaku. Ya begitulah jika kerja kantoran, badannya mudah sekali kaku.
Dimas yang mulai merasa pusing dengan tugas yang tak ada habisnya, memilih untuk ke kantin sesaat untuk menghilangkan kejenuhannya.
"Mas dah balik kerja lu?" Sapa teman sekantornya yang berada di kantin.
Dimas yang merasa disapa, memilih untuk menghampirinya dan bergabung dengan teman sekantornya.
"Iya nih, soalnya tugas dah numpuk banget." Keluhnya yang mengingat tugasnya yang tidak ada habisnya.
"Lagian gue heran deh sama lu, masih aja mau sama Raina" Timpal temannya yang berada di ujung meja makan tersebut.
"Noh liat divisi sebelah, Vee dia bisa dapetin anak sekolahan namanya Aily. Mereka bahkan sampai nikah dan punya anak." Lanjutnya lagi yang memberi perumpamaan kepada Dimas.
"Tau ih, gue tau kalian itu udah lama bareng-bareng. Tapi kalau gua liat-liat nih ya, kayaknya Raina cuma jadi benalu deh di hidup lu." Tambahnya dari teman Dimas yang berada di depannya.
"Gini ya sob, kalian kan cuma liat gue dan Raina di luar doang. Yang menjalani hidupnya kan gue sama Raina. Jadi jangan terlalu ikut campur lah, apalagi sampai bilang kalau Raina benalu." Dimas menanggapi teman-temanya dengan tenang tapi tidak dengan hatinya.
"Gue duluan ya, mau lanjut lagi nih" Tambah Dimas yang memilih untuk pergi dari kumpulan teman-temannya itu.
Apa yang ia katakan tak sesuai dengan tujuannya. Bukan kembali bekerja namun memilih untuk naik ke rooftop gedung kantornya itu.
Menenangkan diri dari jiwa yang mulai marah lagi dan lagi. Menarik napas untuk meredakan amarahnya yang tertahan di hatinya.
Apa salahnya mencintai Raina? Sebegitu hina nya kah Raina di mata mereka? Dari semua rentetan kejadian tak satupun merupakan kesalahan Raina. Semua sudah ada yang mengatur.
Mengapa mereka melihat Raina hanya dari kekurangannya saja? Dan melihat dirinya dari kelebihannya? Padahal Dirinya pun penuh akan kekurangan yang mereka tak ketahui.
Jangan biarkan awan tak menyukai hujannya. Bahkan ketika musim kemarau, awan akan menunggu hujannya datang kembali.
Surya menjingga ketika jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Di pelataran pantai, ada dua insan yang saling sunyi diantara ombak yang beriak.
"Bagaimana hari ini? Adakah cerita?"
Tanya Dimas memecahkan kesunyian.
"Hmm.. gitu gitu aja Dim." Jawab Raina yang tidak bersemangat.
"Kenapa lagi emangnya?" Tak perlu bertanya 'kamu nangis ya?' atau 'kamu lagi ada masalah?' Dimas pasti sudah mengetahuinya terlebih dahulu.
"Kamu tuh jadi orang pekanya kebangetan. Kan aku ga bisa bohong jadinya." Rain menjawab pertanyaan yang tidak ada.
"Jawab dong."
"Ya kamu tahu lah." Raina menoleh ke arah Dimas yang sedang menatap mentari yang akan tenggelam.
"Kuat gak?" Dimas memalingkan wajahnya dari sang mentari. Memilih menatap wajah wanitanya itu.
"Kalau ditanya begitu, kamu pasti sudah tahu jawabannya Dim. Tapi aku gak mau kalah sama mereka Dim. Aku mau tunjukkin ke mereka, kalau apa yang mereka bicarakan itu semua salah." Raina berbicara dengan mata yang berbinar. Tak ada rasa kebencian dari tatapan itu. Hanya ada tatapan sendu yang menggambarkan jiwanya.
Dimas menggenggam tangan Raina. "Aku bangga sama kamu Rain. Tolong ya jangan pergi dari hidup aku." Dimas mengecup tangan Rain dan mendekapnya dengan hangat.
Setelahnya, rintikan air turun membahasi lautan yang terpampang jelas di depan mata mereka. Saling mendekap untuk mendapatkan kehangatan ditengah dingin yang mulai menusuk tulang.
Tiap detik yang mereka lalui selalu sama dengan hari-hari sebelumnya. Ketidaksukaan Raina dan
Dimas yang selalu bersama. Bahkan banyak yang yang menginginkan untuk Raina pergi meninggalkan Dimas.
Raina hanya bisa diam dan menuruti apa yang mereka katakan. Bukan tak mampu untuk melawan tapi percuma meladeni mereka yang tak akan pernah mau mendengar kebenarannya.
"Nah bagus nurut! Mending jadi hewan peliharaan daripada jadi pembunuh. Jadi harus nurut ya.."
Sakit sekali ketika dipermalukan seperti itu. Tapi apa daya Raina yang tak bisa membalasnya. Napasnya selalu sesak ketika mereka mengolok-olokan dirinya sebagai pembunuh atau penjahat.
Raina memilih tempat duduk di pojok belakang. Biarlah disingkirkan di kelas tapi tak menutup kemungkinan untuk ia lebih maju dari yang lainnya.
Setelah jamnya selesai, Raina memilih ke perpustakaan yang selalu sepi akan mahasiswa kelasnya. Hanya disinilah ia merasa damai dengan dirinya. Tak ada yang mengolok-olokan nya atau bahkan yang menghinanya.
Raina mengambil buku bacaan yang berjudul 'Mythology of Flowers". Membacanya dengan cermat dan terkagum dengan kalimat-kalimat yang tertuang dari buku tersebut.
"Raina ya?" Tanya seorang tiba-tiba yang sudah berada di depan Raina.
Raina yang asing terhadap orang tersebut memilih untuk tak peduli.
"Sorry ganggu, gue Bayu." Lelaki itu memperkenalkan dirinya kepada Raina yang tak peduli.
Raina yang merasa risih dengan lelaki yang bernama Bayu tersebut memilih untuk pergi dari perpustakaan. Ia tak mau sampai dihina di ruangan yang ia anggap damai itu.
Cukup di kelas saja tersakiti, tidak dengan perpustakaan.
Beberapa hari lalu kantor Dimas mendapati karyawan baru. Seorang wanita yang baru lulus magang dari cabang kantornya. Dimas diminta untuk mengajari beberapa hal yang harus dikuasi oleh wanita tersebut.
Persis seperti wanita karir. Tinggi semampai dengan bentuk badan yang indah dan memiliki wajah yang tegas namun manis.
"... Jadi kamu harus kaya gini Ra. Nah masukin rumus ini, terus nanti tinggal di jumlah. Paham kan?" Dimas yang menjelaskan sedari tadi tak diperhatikan oleh Nara. Wanita itu sibuk menelisik wajah Dimas.
Dimas yang merasa risih, menjauhi tubuhnya dari Nara.
"Sorry Mas, gak maksud kok. Aku heran aja, kok ada ya cowok semanis kamu." Nara dengan santainya berbicara seperti itu.
"Makasih atas sanjungannya. Tapi maaf tidak pantas seperti itu Ra. Kita baru kenal dan aku engga tertarik untuk dekat sama kamu." Dimas dengan tegas menolak untuk dekat dengan Nara.
Walaupun Nara belum menunjukkan tapi Dimas tahu pasti suatu saat akan terjadi suatu hal yang tak ia inginkan. Zemblanity, itu namanya.
Raina mulu. Noh Nara lebih mulus."
Dimas yang mendengarnya sedikit risih. Mereka berdua bukan barang yang bisa ditukar semaunya ketika barang yang dipilih kurang apik.
Dimas memilih untuk mengabaikan mereka dan melanjutkan tujuannya, yaitu kantin.
"Enggak." Jawabnya jujur tanpa mau tahu.
"Serius? Mana mungkin Nara gak ngasih ke lu" Temannya tak percaya dengan apa yang dikatakan Dimas.
Belum sempat Dimas menjawab, Wanita yang disebut namanya itu datang ke meja Nara. Lengkap sudah hal-hal yang Dimas tidak sukai berkumpul.
"Hi lagi pada ngapain nih?" Basa-basi Nara yang disambut acuh oleh Dimas.
"Ada apa Nar?" Tanya lelaki yang berada di samping Dimas.
"Aku mau kasih undangan ke Dimas."
Temannya menyenggol pundak Dimas untuk memberi kode.
"Nih Mas, tadi aku mau kasih pertama. Tapi kamu udah pergi aja" Lanjutnya lagi sambil memberikan selembar undangan kepada Dimas.
Dimas mengambil undangan tersebut, "Diusahakan akan datang ya Ra." Dimas terlalu tak acuh pada sang wanita yang menawan itu. Bahkan ia tak ada niat untuk melihat undangannya. Langsung menaruh ke laci mejanya.
"Dih gitu doang reaksi lu Mas?" Kata temannya selalu jadi kompor dimana pun kapan pun.
"Itu spesial lho Mas, masa begitu doang reaksi lu. Aneh lu." Tambahnya lagi yang mulai kesal.
"Lebih baik kalian balik ke meja masing-masing deh. Masih jam kerja nih." Dimas memilih untuk tidak menanggapi mereka.
Mereka yang merasa tersindir pun bubar meninggalkan Dimas sendirian di mejanya.
"Rain temenin aku yuk."
"Kemana?"
Dimas menunjukkan kartu undangan kepada Raina. "Nara? Dia siapa?" Raina baru pertama kali lihat nama wanita tersebut.
"Teman kerja, dia anak baru di kantor aku. Hari ini hari ulangtahunnya, dia ngundang aku sama teman aku yang lain." Dimas menjelaskan dengan detail agar tidak ada kesalahpahaman.
"Yakin kamu ajak aku?" Raina meragukan ajakan Dimas untuk menemaninya datang ke acara tersebut.
"Iya lah, kamu kan pacar aku." Dimas terheran sendiri dengan ucapan Raina.
"Bukan gitu Dim, teman kantor kamu yang aku permasalahin." Raina berusaha untuk tidak menyinggung perasaan Dimas.
"Itu mah biarin aja, orang aku maunya sama kamu, kenapa mereka yang repot?" Dimas tak acuh terhadap teman kantornya. Yang bisa membuat ia bahagia hanya Hujannya saja tidak dengan kilat yang saling menyambar.
"Iya aku temenin Dim."
Mereka sampai pada tempat yang tertera di undangan tersebut. Raina menggunakan broken white classy dress selutut dengan tatanan curly hair with braids di rambutnya. Sedangkan Dimas menggunakan kemeja yang senada dengan dress Raina dan dipadu padankan dengan celana berwarna coklat.
Banyak pasang mata yang melihat pasangan ini. Lebih tepatnya mengumpat dalam hati karena ketidaksukaan mereka pada Raina.
"Gak paham lagi sama Dimas, masih aja mau sama pembunuh kayak dia" Salah satu rekan kerja teman Dimas berbisik pada teman yang disebelahnya.
Begitu banyak orang yang mengintimidasi mereka membuat suatu seketika mencekam seolah ada satu makhluk negatif yang menghadiri acara tersebut.
Nara yang merasakannya pun memilih untuk mengalihkan suana. Ia hampiri pasangan yang penuh kekurangan tersebut.
"Hai Mas, akhirnya kamu datang juga." Nara datang ke arah Dimas dan langsung memeluknya untuk bersalam pipi.
"Iya Ra." Jawab Dimas singkat tak acuh dengan wanita yang di depannya itu.
"Aku kira kamu engga akan datang lho Mas, Aku kecewa banget kalau kamu enggak datang." Nara merajuk seolah Dimas adalah pria penting di dalam hidupnya.
Raina yang mendengar pun sedikit kesal dengan tingkahnya yang begitu centil kepada pacar orang.
"Ini Raina, pacar aku. Rain kenalin ini Nara yang aku bilang tadi." Dimas memperkenalkan mereka berdua untuk mengalihkan situasi menjijikan tersebut.
Raina memberikan senyuman termanisnya untuk wanita yang menawan itu. Mengulurkan tangan untuk menjabat "Aku Raina".
Nara membalas jabatan tangan itu, "Nara." Dengan senyuman dewasanya.
Acara akan dimulai, para tamu sudah mulai berdatangan. Untuk Raina, ia merasa asing tapi tidak dengan Dimas, banyak teman kantornya yang hadir.
Peniupan lilin berlangsung meriah. Sorak gembira terdengar di halaman tersebut. Potongan kue pun satu-satu diberikan. Mulai dari orang tua Nara yang menerima kue tersebut.
Mereka tak memikirkan dara yang tetap memegang awannya.
Sepasang insan tersebut diam membisu seperti tersambar petir. Tak ada niat untuk saling menatap atau bahkan menoleh pada siapapun.
Nara mengencangkan genggamannya, menahan rasa sesak yang begitu memilukan hatinya.
Entah semesta memihak pada siapa. Hujan turun seketika. Halaman yang penuh keramaian itu seketika sepi, mencari tempat untuk teduh.
Namun ada tiga insan yang tetap diam di tempat. Memilih hujan menimpanya untuk menyembunyikan rasa sesak di dadanya.
Mereka yang meneduh menjadi penonton atas ketiga insan itu. Bahkan mereka seolah menjadi fans dari pasangan Dimas dan Nara juga menjadi haters atas pasangan Dimas dan Raina.
"Ini hari bahagia aku Mas, permintaan aku mudah kok. Cukup kamu datang ke sini dan mengambil kue yang aku potong ini." Nara berbicara dengan lantang diantara lantunan hujan.
Semakin Nara berbicara, Raina makin mengencangkan genggamannya. Ia tak akan rela melepas awannya sampai awannya sendiri yang memintanya.
Tak ada yang mengetahui, Raina sudah berlinangan air mata yang sama derasnya dengan hujan.
"Siapa yang kamu pilih?" Raina memberanikan diri untuk bertanya.
"Dim aku rela kalau kamu lepas tangan aku." Apa yang dikatakan Raina bertolak belakang dengan genggaman yang Dimas rasakan.
Dimas merasakan kalau Raina tak akan membiarkannya pergi. Ia sudah punya pilihannya, sudah pasti. Bahkan tanpa ditanya.
"Aku mencintai Raina dari sebelum aku mengenal mu Nara." Dimas mulai berbicara.
"Maaf jika merusak hari bahagia mu. Terima kasih sudah menjadikan aku someone special itu."
"Awan tak akan pernah meninggalkan hujannya sampai hujannya sendiri yang memilih pergi. Aku akan selalu milih Raina dalam hidupku."
Setelah kalimat terakhir itu terucap, mereka yang menjadi penonton bersorak meneriaki dua insan tersebut. Mengeluarkan sumpah serapah pada sepasang itu.
Raina yang mendengar apa yang dikatakan Dimas merenggangkan genggamannya. Menatap awannya penuh arti.
"Terima kasih Dim. I still love you forever and ever." Dimas menatap mata yang selalu membuatnya terpanah.
Ada rasa kelegaan ketika mendengar apa yang Raina ucapkan. menatap lamat wajah Raina, mendekatkan tubuh mereka menjadi dekapan.
Dari segala banyak rintangan, hinaan, ketidaksukaan, cacian dan makian. Tuhan akan memberikan akhir yang indah untuk hambanya.


awan ga akan pernah ninggalin hujan, meskpun berganti menjadi pelangi
BalasHapus